Friday, June 25, 2010

Farmakoterapi Wanita Infertil

PENDAHULUAN
             Infertilitas terjadi pada sekitar 10 hingga 15% pasangan dan menjadi permasalahan medis bagi sekitar 2.7 juta wanita dengan usia reproduksi di Amerika Serikat. Setiap tahun setidaknya 1.3 juta wanita mencari penanganan medis dan konsultasi. Angka ini telah meningkat seiring dengan perubahan demografis pada keadaan sosial.Dalam beberapa dekade terakhir, penanganan yang terbukti berhasil untuk seluruh jenis infertilitas telah dikembangkan dan memberikan harapan bagi pasangan untuk dapat keluar dari keadaan ini. Infertilitas didefinisikan sebagai tidak terjadinya konsepsi pada pasangan dalam waktu satu tahun walaupun berhubungan seksual tanpa kontrasepsi. Kesuburan adalah adanya peluang terjadinya konsepsi dalam satu siklus menstruasi dan kesuburan untuk satu siklus biasanya digunakan untuk mengidentifikasi angka keberhasilan dari penatalaksanaan infertilitas. Diharapkan sekitar 15 hingga 25% wanita muda yang sehat dapat hamil dalam satu siklus, walaupun jelas bahwa peluang terjadinya konsepsi menurun pada tahun pertama tanpa kontrasepsi yang menjadikan terjadinya infertilitas pada pasangan. Penurunan kesuburan terjadi pada wanita pada pertengahan usia 30 tahun, menjadikannya mulai untuk melakukan evaluasi dan penatalaksanaan inferilitas pada kelompok usia ini setelah 6 bulan kegagalan terjadinya kehamilan. Ketika salah satu atau kedua anggota dari pasangan memiliki riwayat yang mengarahkan akan adanya potensi gangguan reproduksi, maka pemeriksaan diagnostik sebaiknya segera dimulai. Maka, penting bagi penyedia layanan kesehatan primer dan obstertician-gynecologist untuk melakukan anamnesia dan pemeriksaan fisik
dari kedua anggota pasangan. Berkembangnya teknik diagnostik dan penatalaksanaan untuk infertilitas menunjukkan telah meningkatnya perhatian bahwa infertilitas merupakan gangguan yang serius, yang ditingkatkan oleh paparan faktor lingkungan atau perilaku beresiko tinggi. Penjelasan utama untuk meningkatkan efektivitas penanganan infertilitas adalah meningkatkan kesadaran akan gangguan ini kepada pasien. Infertilitas dapat terjadi akibat beragam penyebab. Penyebab infertilitas dari wanita adalah gangguan ovulasi (25%), penyakit tuba ( 20 % hingga 25%), termasuk endometriosis (10%). Infertilitas pria merupakan penyebab primer pada 25% kasus. Infertilitas juga terjadi tanpa penyebab yang jelas pada 20% kasus. Walaupun adanya perkembangan dalam efektivita terapi konfensional spesifik, prognosis keseluruhan terjadinya kelahiran bayi tidak lebih tinggi dari 50%. Hal ini dapat disebabkan oleh faktor yang tidak diketahui yang tetap eksis setelah penanganan konvensional. Kebanyakan pasangan tidak mutlak infertil, namun cenderung subfertil. Kedua hal ini berbeda karena adanya kemungkinan kecil terjadinya konsepsi dan kelahiran pada pasangan subfertil tanpa penanganan apapun. Efektivitas suatu penanganan dapat ditentukan dengan adanya penelitian klinis yang terandomisasi yang membandingkan kelompok dengan penanganan khusus dan kelompok tanpa penanganan. Setiap pilihan penanganan yang ada memerlukan pengorbanan emosional, fisik, finansial, tanpa adanya penelitian yang jelas mengenai kesuksesannya. Maka, penting untuk mengevaluasi dan menangani pasien dengan pendekatan komprehensif dengan mempertimbangkan manfaat, efek samping yang tidak diinginkan, waktu, dan biaya. Kebanyakan pasangan tidak mutlak infertil, namun cenderung subfertil. Kedua hal ini berbeda karena adanya kemungkinan kecil terjadinya konsepsi dan kelahiran pada pasangan subfertil tanpa penanganan apapun. Efektivitas suatu penanganan dapat ditentukan dengan adanya penelitian klinis yang terandomisasi yang membandingkan kelompok dengan penanganan khusus dan kelompok tanpa penanganan. 
MATURASI OOSIT
         Maturasi oosit diregulasi oleh hormon sex dan pada spesien nonmammalia, suatu aktivitas nongenomik dari progesterone menyebabkan peningkatan konsenstrasi kalsium intraselluler. Pada oosit manusia, influx dari kalsium extraselluler terjadi sebagai respon dari estradiol, diikuti dengan peningkatan ion kalsium sekunder dari penyimpanan intraseluler. Respon nongenomik terhadap estradiol ini terjadi pada permukaan sel, dan peningkatan kalsium intraseluler memperbaiki kualitas dari oosit dan berkontribusi terhadap kemampuan untuk mengalami fertilisasi. Ossilasi kalsium merupakan kejadian umum yang terjadi pada oosit mammalia dan juga merupakan reaksi awal terhadap spermatozoa. Adanya peningkatan kemampuan fertilisasi setelah peningkatan kalsium akibat induksi estradiol mengindikasikan peranan penting dari estradiol intrafolikuler pada maturasi oosit.
FISIOLOGI FERTILISASI DAN IMPLANTASI
        Oosit manusia diperkirakan memiliki waktu selama 12 hingga 24 jam untuk dapat berfertilisasi. dan sperma manusia memiliki kemampuan memfertilisasi oosit dalam waktu 48 hingga 72 jam. Terjadinya kontak antara oosit yang dapat difertilisasi dan sperma yang mampu berfertilisasi terjadi pada ampulla tuba, terdapat bukti adanya kemampuan oosit untuk menarik sperma agar dapat menemukannya. Respon kemotaktik dari sperma ini membutuhkan perubahan pada kemampuan dasar sperma. Sehingga hal ini yang kemungkinan merupakan suatu sistem yang memilih sperma agar dapat mampu melakukan fertilisasi. Cumulus oophorus mengalami ekspansi preovulatorik yang memiliki peranan penting, ruang ampuller pada tuba fallopi manusia relatif besar (dibanding dengan oosit), dan perluasan cumulus dapat membantu meningkatkan peluang untuk berkontak dengan spermatozoa yang berhasil mencapai tuba. Telah diketahui dari penelitian in vitro, bahwa cumulus sangat penting bagi kemampuan fertilisasi sperma

 Kontak awal antara sperma dan oosit merupakan suatu proses yang dimediasi oleh reseptor. Zona pellusida tersusun oleh glikoprotein yang disekresi oleh oosit, yaitu ZP1, ZP2, dan ZP3, dengan ZP3 yang paling banyak ditemukan. ZP3 merupakan ligan primer untuk sperma dan pengikatan ZP2 terjadi setelah reaksi akrosom Fertilisasi kemudian dilanjutkan dengan perlekatan spermatozoa pada zona pelusida, yaitu suatu struktur membranosa yang mengelilingi ovum; kemudian penetrasi zona pellusida akan menimbulkan reaksi akrosom, yaitu terurainya akrosom, organel mirip-lisosom pada kepala sperma. Setelah itu berbagai enzim dilepaskan, termasuk akrosin yang mempermudah penetrasi sperma melalui zona pellusida. Bila satu sperma sudah mencapai membran ovum, sperma tersebut berfusi dengan membran melalui perantara fertillin, suatu protein di permukaan kepala sperma. Fusi tersebut menghhasilkan sinyal untuk memulai perkembangan. Selain itu, fusi menyebabkan reduksi potensial membran ovum yang mencegah polisspermia yaitu pembuahan sebuah ovum oleh lebih dari satu sperma. Perubahan potensial yang sesaat ini kemudian diikuti oleh perubahan struktural pada zona pellusida yang menghasilkan proteksi jangka panjang terhadap polispermia. Sekitar 3 jam setelah inseminasi, meiosis kemudian lengkap. Badan polar kedua dilepaskan dan meninggalkan telur dengan komplomen haploid dari kromosom. Penambahan kromosom dari sperma mengembalikan jumlah diploid dari telur yang telah difertilisasi. Aktivitas genomik embrio pada manusia terjadi setelah 9 – 10 jam setelah inseminasi. Ekspresi gen manusia terjadi pada antara pembelahan sel preimplantasi, 2 – 3 hari setelah fertilisasi. Sinyal embrionik berasal dari RNAs maternal. Perkembangan pada stadium pembelahan preblastosit kemudian diketahui. Blastokista kemudian terbentuk dan merupakan suatu embrio yang sementara berkembang, begerak ke bawah sepanjang tuba menuju uterus. Perjalanan ini membutuhkan waktu 3 hari dan selama itu blastokista mencapai stadium 8 atau 1 sel. Setelah berkontak dengan endometrium, blastokista kemudian dikelilingi oleh sebuah lapisan luar sinsitiotrofoblas, suatu massa multinukleus tanpa batas sel yang jelas dan sebuah lapisan sitotrofoblas yang terbentuk pada lokasi implantasi. Sinsitiotrofoblas menyebabkan terjadinya erosi endometrium dan blastokist kemudian terbenam di dalamnya.
ETIOLOGI INFERTILITAS PADA WANITA
           Insiden pasti dari beragam faktor yang menyebabkan infertilitas beragam diantara populasi dan tidak dapat ditentukan dengan akurat. Collin melaporkan diantara 14.141 pasangan infertil, gangguan ovulasi terjadi pada 27%, faktor pria sebanyak 25%, gangguan tuba sebanyak 22%, endometriosis 5%, lainnya 4%, dan faktor yang tidak diketahui sebanyak 17%. 
Penyebab utama dari infertilitas pada wanita mencakup : 
  • Penurunan kemampuan ovarium
  • Gangguan ovulatorik (Faktor ovulasi)
  • Cedera tuba, blokade, atau adhesi paratubal
  • Faktor uterus
  • Kondisi sistemik (termasuk infeksi atau penyakit kronik seperti gangguan autoimun atau gagal jantung kronik)
  • Faktor serviks
  • Faktor yang tak dapat dijelaskan (termasuk endometriosis tanpa adhesi tuba atau peritoneum)
         Pada beberapa keadaan, prevalensi dari etiologi ini beragam bergantung umur. Gangguan ovulasi paling sering terjadi pada wanita muda dibandingkan dengan wanita yang lebih tua, begitupula faktor peritoneum dan tuba. Infertilitas yang tidak dapat dijelaskan dan penyebab sistemik merupakan diagnosis yang paling sering ditemukan pada wanita yang lebih tua.
Faktor Ovarium
          Kemampuan ovarium berarti ukuran dari folikel primordial yang istirahat atau tidak berkembang, yang kemudian menentukan jumlah dari folikel yang bertumbuh dan kualitas atau potensi reproduktif dari oosit yang dihasilkan. Kemampuan ovarium dianggap mempengaruhi bagaimana ovarium berespon terhadap gonadotropin exogen dengan indikator jumlah folikel, oosit yang dihasilkan, kadar estradiol serum, durasi stimulasi dan kuantitas gonadotropin yang dibutuhkan. Adanya gangguan dalam kemampuan ovarium mengakibatkan kegagalan produksi folikel dan oosit walaupun dengan paparan gonadotropin, yang akan berkontribusi terhadap infertilitas pada wanita. Walaupun usia menjadi prediktor terbaik dari kemampuan ovarium, sekitar 10% wanita mengalami kerusakan kemampuan ovarium pada pertengahan usia 30 tahun. Prediktor lain dari kemampuan ovarium adalah pengukuran kadar FSH pada hari ke 3 siklus. Adanya peningkatan kadar FSH pada hari ketiga dapat menjadi indikator adanya gangguan ovarium yang dapat dideteksi sebelum seorang wanita mengalami perubahan pola menstruasi.
Disfungsi Ovulasi
       Secara keseluruhan gangguan ovulasi terjadi pada sekitar 15% dari masalah yang teridentifikasi pada pasangan infertil. Disfungsi ovulasi dapat menjadi faktor utama yang mengakibatkan kegagalan konsepsi (anovulasi) atau hanya salah satu faktor yang berkontribusi (pada oligoovulasi). Akan tetapi, karena rata-rata siklus kesuburan seseorang hanya sekitar 20% bahkan pada pasangan fertil normal sekalipun, untuk membedakan keduanya tidak memiliki implikasi klinik yang penting. Disfungsi ovulasi identik dengan permasalahan hormonal yaitu jumlah kadar folikel stimulating hormon (FSH), lutenizing hormon (LH), estrogen, dan hormon lainnya. Kelainan ini dapat mengakibatkan kegagalan ovulasi, membuat lingkungan lokasi fertilisasi tidak mendukung untuk sperma, dan mempengaruhi implantasi dari oosit yang telah difertilisasi. Pada dasarnya terdapat beberapa keadaan yang tergolongkan permasalahan ovulasi, yaitu :
  1. Sindrom ovari polikistik, dimana timbul suatu kista kecil yang mempengaruhi proses ovulasi dan produksi hormon.
  2. Hyperprolactinemia, dimana akan menurunkan GnRH melalui efek langsung prolactin terhadap hypothalamus sehingga mencegah terjadinya ovulasi.
  3. Hypogonadotropic Hypogonadism, merupakan gangguan primer produksi GnRH, hormon yang berperan terhadap pelepasan FSH dan LH pada hipotalamus.
  4. Defisiensi fase luteisme, terjadi ketika kadar progesteron tidak cukup untuk memfasilitasi implantasi pada telur yang telah difertilisasi.
          Gangguan ovulasi merupakan penyebab infertilitas yang paling mudah didiagnosis dan paling dapat ditangani. Sikslus menstruasi normal seorang wanita usia reproduktif beragam mulai 25 hingga 35 hari, dan kebanyakan wanita memiliki panjang siklus 27 hingga 31 haru. Wanita yang memiliki siklus menstruasi yang reguler (sekitar setiap 4 minggu) dengan gejala minimal, seperti pembengkakan payudara premenstrual dan dismenore, hampir semuanya memiliki siklus ovulatroik yang baik. Karena ovulasi merupakan hal mendasar untuk terjadinya konsepsi, ovulasi harus terdokumentasi sebagai bagian pemeriksaan dasar pasangan infertil. Diagnosis awal pada wanita dengan faktor ovulasi sebagai penyebab infertilitas mencakup anovulasi (ovulasi tidak ada sama sekali) atau oligoovulasi (ovulasi yang jarang terjadi)
Faktor Tuba dan Uterus
           Pelvic Inflammatory Disease (PID) tidak dipertanyakan lagi merupakan penyebab utama infertilitas tuba dan kehamilan ektopik. Penelitian pada wanita dengan PID yang didiagnosis melalui laparascopi telah menunjukkan bahwa resiko infertilitas tuba meningkat dengan kekerapan dan keparahan infeksi pelvis; secara keseluruhan, insidennya sekitar 10-12% setelah 1 episode, 23-25% setelah dua episode, dan 54-75% setelah 3 episode PID akut. Resiko kehamilan ektopik meningkat 6 hingga 7 kali lipat setelah infeksi panggul. Walaupun banyak wanita dengan penyakit tuba atau adhelsi radang tidak memiliki riwayat infeksi sebeelumnya, bukti menunjukkan adanya infeksi ”diam” yang merupakan penyebab paling memungkinkan. Banyak wanita seperti ini memiliki peningkatan antibodi Chlamydia yang menunjukkan adanya infeksi sebelumnya. Penyebab infertilitas tuba mencakup peradangan terkait dengan endometriosis, inflammatory bowel disease, atau trauma surgical. Mekanisme yang berperan terhadap infertilitas tuba terkait dengan abnormalitas anatomik yang mencegah terjadinya bergabungnya sperma dan ovum. Obstruksi tuba proximal mencegah sperma mencapai bagian distal dari tuba fallopi dimana fertilisasi yang normal terjadi. Oklusi tuba distal mencegah penangakapan ovum dari ovarium sekitar. Sementara obstruksi tuba proximal meupakan suatu fenomena semua atau tidak sama sekali, oklusio tuba distal mencakup gangguan yang ringan (aglutinasi fimbrial), moderat (phimosis fimbrial) hingga berat (obstruksi total). Kecenderungan penangkapan ovum berbanding terbalik dengan tingkat keparahan penyakit ini. Kerusakan radang pada struktur mukosa tuba internal tidak dapat dideteksi dengan mudah tetapi jelas dapat mengganggu fungsi transpor sperma dan embrio. Abnormalitas uterus merupakan penyebab infertilitas yang relatif jarang akan tetapi harus tetap dipertimbangkan. Abnormalitas ini dapat mengganggu outcome kehamilan setelah pengananan faktor tuba dan ovarium. Abnormalitas anatomik uterine yang mengganggu fertilitas termasuk malformasi kongenital, leiomyoma, dan adhesi intrauterine, polip edometrial juga dapat mempengaruhi akan tetapi implikasi reproduktifnya belum jelas. Satu-satunya abnormalitas fungsional uterus yang dapat dideteksi pada pemeriksaan infertilitas adalah endometritis kronik. Beberapa menganggap gangguan endometrial (termasuk defisiensi fase luteal) sebagai infertilitas yang terjadi akibat disfungsi endometrial intrinsic yang mengganggu atau mencegah implantasi. Sekarang ini defisiensi fase luteal telah dianggap sebagai gangguan ovulatorik. Faktor Serviks.
         Tidak dapat diragukan bahwa keadaan serviks dan mukus serviks turut berpartisipasi dalam proses reproduksi dalam beberapa cara. Mukus serviks menerima atau menangkap sperma dari ejakulasi dan vagina, mengeliminasi konstituen plasma seminal dan menyaring sperma yang abnormal, memberikan gizi untuk sperma secara biokimia, dan berperan sebagai reservoir untuk sperma, sehingga memperpanjang masa hidupnya dan interval antara hubungan seksual dan ovulasi yang akan memudahkan terjadinya konsepsi. Mukus merupakan gel glikoprotein dengan fase padat dan cair dan memiliki ultrastruktur dengan jalur interstitial antara barisan mucin yang meluas dan berkontraksi sebagai respon perubahan siklik pada lingkungan hormon steroid pada siklus menstruasi untuk memfasilitasi atau mencegah lewatnya sperma. Estrogen menstimulasi produksi produksi mukosa serviks dan ketika kadar estrogen meningkat dengan perkembangan follikuler progresif, mukus menjadi lebih banyak, jernih, dan encer, sehingga lebih mudah dipenetrasi oleh sperma. Progesterone menghambat produksi mukus serviks dan merubahnya menjadi opak, kental, dan tidak dapat dipenetrasi. Perubahan siklus pada karakteristik mukus serviks membantu menjelaskan mengapa kemungkinan konsepsi meningkat ketika ovulasi akan terjadi. Faktor servikal dicurigai ketika terdapat riwayat Pap Smear yang abnormal, perdarahan setelah berhubungan, cryoterapi, paparan DES in utero. Pada beberapa kasus, jumlah mukosa serviks yang normal gagal untuk menangkap sperma yang ada, pemeriksaan silang dari sperma donor dan mukosa donor dapat dilakukan untuk menentukan kontribusi mukosa serviks.
FARMAKOTERAPI INFERTILITAS
         Penanganan infertilitas merupakan suatu proses kompleks yang dipengaruhi oleh beberapa faktor. Pertimbangan yang terpenting adalah durasi infertilitas, usia pasangan (terutama pada wanita, dan diagnosis penyebab infertil. Lebih lanjut lagi, tingkat stress yang dialami oleh pasangan sebaiknya juga ikut dipertimbangkan. Pada umumnya, langkah pertama adalah identifikasi dari penyebab primer dan faktor yang berkontribusi dan penatalaksanaan ditujukan pada koreksi langsungnya. Kebanyakan ditangani dengan terapi konvensional seperti medikasi atau operasi. Pada beberapa kasus, terapi dapat bermulai tanpa pemeriksaan lengkap, terutama ketika penyebab infertilitas sudah jelas. Akan tetapi, jika kehamilan tidak juga terjadi, maka
pemeriksaan yang lebih menyeluruh dibutuhkan. Seorang ahli infertilitas sebaiknya tidak mengharuskan suatu penatalaksanaan kepada pasien, tetapi sebaiknya menawarkan dan menjelaskan opsi terapi yang dapat dilakukan. Tidak semua penyebab infertilitas dapat ditangani dengan pemberian medikasi atau farmakoterapi. Gangguan fungsional merupakan penyebab yang dapat diberikan obat sementara penyebab infertilitas yang terkait dengan gangguan struktural, opsi terapi invasif lebih dipilih. Pada referat ini, akan dibahas lebih lanjut mengenai jenis obatobatan dalam menangani infertilitas, struktur, farmakodinamika, dan efek samping yang dapat terjadi pada pemberiannya. Agen terapeutik yang saat ini tersedia untuk menginduksi ovulasi adalah clomiphene citrat, gonadotropin urinarius (HMG atau preparat FSH lainnya), rekombinan FSH dan LH, ureaplasma urealitikum, dan gonadotropin-releasing hormone (GnRH). Lebih lanjut lagi, terdapat peningkatan penggunaan letrozole dan metformin. Jika anovulasi diakibatkan oleh hyperprolactinemia, agonis dopamin merupakan agen yang efektif untuk menginduksi ovulasi. Pada wanita yang mengalami hyperplasia adrenal kongenital atau anovulsi yang diikuti oleh produksi androgen berlebihan, ovulasi dapat diinduksi dengan terapi kortikosteroid.
CLOMIPHENE CITRAT
         Pada umumya, clomiphene citrat telah menjadi pilihan pertama dalam intervensi medis untuk induksi ovulasi. Clomiphene citrat pertama kali disintesis tahun 1956, diperkenalkan pada penelitian klinis tahun 1960, dan diterima untuk penggunaan klinis di Amerika Serikat tahun 1967, pada penelitian klinis awal, 80% dari wanita anovulatorik yang diterapi dengan clomiphene citrat mendapatkan ovulasi dan separuh dari mereka menjadi hamil. Pengalaman klinis kolektif dalam beberapa tahun terakhir konsisten dengan observasi pada penelitian-penelitian terdahulu.
Struktur Farmakologis
          Clomiphene merupakan derivat triphenylethylene nonsteroid dengan properti agonis dan antagonis estrogen. Akan tetapi, pada hampir semua keadaan, clomiphene berperan murni sebagai antagonis atau antiestrogen; aksi estrogenik lemahnya secara klinis hanya dapat terlihat ketika kadar esrogen endogen sangat rendah. Clomiphene dibersihkan melalui hati dan dieksresikan dalam feses; sekitar 85% dieliminasi dalam waktu satu minggu, tapi jejaknya dapat terdeteksi pada sirkulasi lebih lama lagi. Clomiphene merupakan campuran antara kedua steroisomer yang berbeda, enclomiphene (dulunya dikenal dengan cis-clomiphene) dan zuclomiphene (dulunya trans-clomiphene). Enclomiphene merupakan isomer yang lebih poten dan yang berperan dalam induksi ovulasi. Waktu paruh dari enclomiphene relatif pendek, maka konsentrasi serum dapat naik dan turun dengan cepat sebelum dan setelah pemberiannya. Zuclomiphene lebih lambat dieliminasi;
kadar serum tetap terdeteksi berminggu-minggu setelah satu dosis tunggal dan bahkan dapat berakumulasi secara perlahan dalam suatu rangkaian siklus pemberiannya.
Mekanisme Kerja
              Clomiphene citrat merupakan sintetik estrogen lemah yang menyerupai aktivitas dari antagonis estrogen ketika diberikan pada dosis farmakalogis untuk induksi ovulasi. Karena kemiripan struktural dengan estrogen, clomiphene akan berikatan dengan reseptor estrogen pada sistem reproduksi maka suatu axis hipotalamus-talamus-ovarium yang normal dibutuhkan untuk aktivitas clomiphene citrat. Lebih spesifik lagi, clomiphene citrat dianggap mengikat dan memblokir reseptor estrogen pada hipotalamus untuk periode yang lama, pada hipotalamus, penurunan reseptor estrogen mencegah interpretasi kadar estrogen yang akurat sehingga kadar estrogen yang bersirkulasi dianggap lebih rendah dibandingkan dengan yang sebenarnya kemudian pada akhirnya menurunkan sirkuit feedback ovarium-hipotalamus yang normal (Gambar 3). Penurunan feedback negatif ini memicu mekanisme kompensatorik yang merubah pola sekresi GnRH dan meningkatkan amplitude pulsasi gonadotropin talamus yang kemudian memicu perkembangan folikel ovarium. Ketika diberikan pada wanita yang mengalami ovulasi, clomiphene meningkatkan frekuensi pulsasi GnRH, akan tetapi pada wanita anovulatorik dengan sindrom polikistik ovarium dimana frekuensi pulsasi GnRH sudah tinggi, clomiphene meningkatkan amplituda pulsasi GnRH bukan frekuensinya. Kadar FSH dan LH meningkat selama penanganan clomiphene dan turun kembali setelah menyelesaikan terapi 5 hari. Pada siklus terapi yang berhasil, satu atau lebih folikel bermunculan dan berkembang hingga dewasa. Pada saat bersamaan, kadar estrogen akan meningkat secara progressif, sehingga meningkatkan pengeluaran LH dan memicu ovulasi. Clomiphene citrat juga mempengaruhi ovulasi secara langsung melalui efeknya pada talamus atau ovarium. Disayangkan, efek antiestrogenik dari clomiphene citrat pada tingkat endometrium atau serviks kemungkinan memiliki efek samping pada segelintir individu. Untuk Lebih Lengkapnya silahkan Download

No comments:

Post a Comment